Perempuan Berhijab Syar’i, Bukan Teroris!
Oleh: Mas Prim Kotagede
Ketika orang menyaksikan perempuan yang notabene mengenakan hijab syar’i, persepsinya maca-macam, teroris salah satunya. Persepsi ini timbul dari Islamophobia yang berarti ketakutan-ketakutan terhadap orang-orang yang beragama Islam, terutama perempuan berhijab syar’i. Apa pengaruhnya dalam kehidupan bermasyarakat? Ya! Ketika stigma tersebut berdampak dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, termasuk dalam pergaulan inter personal. Beberapa dari mereka yang memakai hijab syar’i ini mengalami perundungan, cercaan, bahkan intimidasi dari warga sekitar.
Perundungan demi perundungan dalam pergaulan sehari-hari mengakibatkan gangguan kesehatan pada mental, seperti rasa minder, mengurung diri di rumah/kamar, hingga anti sosial. Bila dibiarkan perundungan terus-menerus, akibatnya bisa depresi, frustrasi, sampai skizofrenia. Skizofrenia adalah penyakit gangguan yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berfikir, merasakan, dan berperilaku dengan baik. Belum lagi dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat komunal, misal kerja bakti. Perempuan yang memakai hijab syar’i tidak dilibatkan dalam kegiatan itu. Kegiatan lain seperti Peringatan 17 Agustus pun demikian. Seolah-olah perempuan-perempuan berhijab syar’i dianggap sebagai kelompok ekstrimis, intoleran, paling familiar disebut anti Pancasila.
Apa sebab dari munculnya stigma tersebut yang mendarahdaging di masyarakat? Apakah busana berbeda saja yang menyebabkan timbulnya stigma? Jawaban penulis uraikan berikut.
Faktor Yang Mempengaruhi
1. Faktor Budaya sekitar
Faktor ini yang menyebabkan adanya persepsi yang menganggap perempuan yang mengenakan hijab syar’i ini terlihat berbeda. Di Jawa contohnya, busana yang dikenakan adalah busana adat Jawa, dan hijab yang digunakan sesuai dengan kultur sekitar, contoh hijab yang dikenakan oleh perempuan pada jaman Kartini. Sedang busananya, dalam hal ini hijab syar’i yang dikenakan adalah budaya dari Arab. Begitu juga dengan cadar demikian. Di Jawa, wajah selalu terlihat, karena wajah menggambarkan kecantikan seorang wanita. Sebaliknya, cadar untuk menutupi wajah, dalam rangka untuk menjaga kecantikannya, sehingga kedua matanya yang terlihat.
2. FaktorInteraksi Sosial
Interaksi sosial tak bisa terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat, termasuk saling sapa antar tetangga di kampung/kompleks perumahan/pedesaan. Karena yang memakai hijab syar’i ini tidak terlihat wajahnya secara keseluruhan, maka masyarakat terutama perempuan, menganggap perempuan bercadar seperti ninja, matamata, penyusup, atau pelaku kejahatan lainnya. Belum lagi, gosip-gosip hangat yang menjadi headline kelompok lambe turah yang nongkrong di arisan, rapat, sampai pengajian. Warung kopi pun jadi sasaran base-camp kelompok ini. Bahasan perempuan dengan hijab syar’i menjadi topik utama. Maka muncul stigma negatif yang disandarkan pada perempuan yang mengenakan hijab syar’i, termasuk yang memakai cadar. Akibatnya, perempuan yang mengenakan hijab syar’i tersingkirkan dari masyarakat.
Dari sinilah, pernyataan masyarakat yang mendeskriditkan perempuan yang mengenakan hijab syar’i dianggap sebagai teroris, intoleran, pelaku kejahatan, sampai anti pancasila. Sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan pernyataan ini berkembang pesat, dan mengakar sampai bertahun-tahun. Bagi penulis, semua itu bisa dipatahkan, asalkan sesuai dengan aturan yang berlaku, serta tidak main hakim sendiri. Cara yang lain, yaitu berinteraksi langsung dengan perempuan yang mengenakan hijab syar’i, sehingga terjadi interaksi sosial, serta mengerti satu sama lain.
Fakta Lapangan
Beberapa fakta di lapangan diantaranya, salah satu SMA di Jogja mempunyai siswi yang memakai cadar, teman-teman sekelasnya tidak menghina, atau tidak mencibir, justru mereka mengajak kerjasama dalam belajar kelompok, dan mengerjakan tugas sekolah. Selanjutnya, di salah satu universitas di Jogja, ada mahasiswi salah satu prodi yang memakai hijab syar’i. Berbeda dengan SMA, di universitas tersebut bermacam-macam perspektif para sifitas akademika di universitas tersebut, diantaranya perbedaan dalam mensikapi mahasiswi yang mengenakan hijab syar’i. Beberapa pengampu mata kuliah tidak mempermasalahkan mahasiswi tersebut mengenakan hijab syar’i, terutama yang mengenakan cadar. Sebaliknya, ada sebagian para pengampu mata kuliah yang tidak mengizinkan mahasiswinya mengenakan cadar karena alasan tertentu, seperti alasan perbedaan ulama’ dalam menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an, QS. An Nur ayat 31 misalnya.
Isi dari QS. An Nur ayat 31, yaitu:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٣١)
31. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Diskusi secara intens
Selain interaksi sosial sehari-hari, yaitu diskusi dengan perempuan yang berhijab syar’i. Catatan, tidak sampai menimmbulkan fitnah, atau hal-hal meresahkan sejenisnya. Maka, diskusi ini tidak sembarangan diadakan di rumah yang bersangkutan. Agar lebih nyaman, diskusi diadakan di majelis ta’lim di masjid/surau/musholla dengan melibatkan tokoh agama setempat yang berkompeten di bidangnya. Fungsi dari diskusi tersebut, yaitu untuk menciptakan saling pengertian, dan saling percaya antar wwarga terhadap perempuan yanng mengenakan hijab syar’i. Satu contoh, seorang perempuan berhijab syar’i duduk bersama jamaah di salah satu masjid beserta tokoh agama untuk melaksanakan pengajian yang membahas kewajiban menutup aurat bagi seorang perempuan. Selain diskusi, pelibatan kegiatan yang bersifat komunal seperti kerja bakti salah satu dari sekian solusi dalam meminimalisir stigma negatif terhadap perempuan berhijab syar’i. Bila solusi-solusi sederhana tersebut bisa direalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat, insya Allah, stigma negatif terkikis. Misal, melibatkan perempuan berhijab syar’i dalam kegiatan bakti sosial di sebuah kampung X/kompleks perumahan X/desa X dalam rangka semarak Ramadhan.
Pelajari Ilmu Agama
Solusi terakhir, yaitu sering mempelajari ilmu-ilmu agama dengan benar dan terstruktur bersama guru yang ahli serta kredibel di bidangnya. Misal dalam kajian keislaman khusus perempuan yang bertema mengenakan hijab dalam kegiatan sehari-hari. Termasuk dalam menjelaskan pendapat para alim ulama’ yang pendapatnya beragam, salah satunya dalam mengenakan cadar/niqab. Lebih menarik lagi, bila kajian tersebut disediakan waktu untuk tanya jawab yang menambah khazanah keilmuan. Sebagai tambahan, cari guru yang memang tidak ekstrim kanan atau kiri, keilmuannya yang bisa dipertanggungjawabkan, serta bisa diketahui sumber dari ilmu yang dipelajari.
Bila dikaji lebih dalam, bukan hijab syar’i yang membuat stigma negatif ini muncul dipermukaan, dan mengakar dalam pikiran, tetapi pemahaman yang salah dalam memahami agama yang sering kali menimbulkan gesekan horisontal. Pemahaman yang setengah-setengah, dan ditelan mentah-mentah tanpa dikaji dan ditelaah menjadi bumerang besar dalam kehidupan bermasyarakat. Sayangnya, literasi masyarakat dalam hal keagamaan kurang, belum lagi pengaruh-pengaruh aliran sesat yang menyebabkan pemikiran menjadi ekstrim, intoleran, sampai anti Pancasila. Selain itu, tingkat pendidikan masyarakat juga masih belum merata, tak heran bila masyarakat di negeri tercinta ini masih kurang dalam pengetahuan, terutama pengetahuan agama yang terstruktur, misal penggunaan hijab syar’i bagi perempuan. Ini yang penulis garisbawahi terkait stigma negatif yang disematkan pada perempuan yang mengenakan hijab syar’i.
Penutup
Sebagai penutup, bisa disimpulkan dalam beberapa kalimat sederhana sebagai berikut:
• Ketika masyarakat menyaksikan perempuan yang mengenakan hijab syar’i, yang terbersit di pikiran mereka adalah teroris, penjahat, perakit bom, orang yang intoleran. Stigma negatif tersebut menimbulkan gangguan mental, akibatnya bisa menyebabkan penyakit kejiwaan salah satunya Skizofrenia.
• Faktor budaya dan faktor interaksi sosial yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, sehingga perempuan yang mengenakan hijab syar’i tersebut tersingkirkan dari aktifitas tersebut.
• Fakta yang menunjukkan bahwa perempuan yang berhijab syar’i tidak disebut teroris, misal dalam sebuah sekolah menengah dan universitas di Jogja.
• Dalam meminimalisir stigma tersebut, dicari solusi-solusi yang aplikatif agar masyarakat mudah dalam mengikis stigma yang mengakar, diantaranya dengan berinteraksi secara langsung, serta mengadakan kajian keilmuan bersama guru yang ahli di bidangnya, tidak ekstrim kanan atau kiri, serta keilmuannya bisa diketahui sumbernya.
• Sebab dari adanya stigma teroris bukan dari tampilan luar, misal hijab syar’i, melainkan pemahaman agama yang salah, setengah-setengah, juga memahami secara mentah tanpa ditelaah terlebih dahulu menjadi bumerang, sekaligus menjadi titik poros kemunculan paham-paham intoleran, dan terorisme.
Semoga ini menjadi pelajaran bagi kita selaku warga masyarakat yang majemuk, bahwa perempuan yang mengenakan hijab syar’i bukan teroris yang sering ditampilkan dalam media massa. Mereka juga manusia seperti kita, mereka butuh bermasyarakat, butuh interaksi, juga ikut berkontribusi dalam pembangunan sumber daya manusia, termasuk ikut menginspirasi perempuan-perempuan yang lain dalam menjaga keutuhan bangsa, dan negara. Wallahu a’lam bishshawab.
Yogyakarta, 28 September 2024