Interaksi Dengan Perempuan Berbusana Syar’i Ala Tunanetra, Pertemuan Bersejarah Dengan Mbak Ragil
Oleh: Prima Agus Setiyawan
Ketika kita berinteraksi dengan wanita yang menggunakan busana syar'i, apa yang terlintas di pikiran teman-teman? Takut? Canggung? Khawatir tersinggung? Atau takut bukan mukhrim (untuk laki-laki)? Saya juga merasakan itu sejak 14 tahunn lalu. Namun semua sirna ketika membuktikan langsung. Dari yang bercadar, maupun tidak bercadar, semuanya adalah teman. Mereka bisa diajak ngobrol, walau duduknya diberi jarak. Sebagian dari mereka ada yang punya prestasi, teman-teman, ada yang juara qiro'ah, sampai jadi penulis juga ada. Salah satu yang menjadi perhatianku, yakni seorang kawan dari Purbalingga Jawa Tengah. Seorang editor Jurnal Inklusi UIN Sunan Kalijaga, sekaligus juru bahasa isyarat dari Pusat Juru Bahasa Isyarat (PLJ) Yogyakarta. Dia adalah Ragil Ristiyanti, S.Pd. S1 Pendidikan Fisika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Tahun 2013. Wanita kelahiran 16 Agustus 1995 ini mencuri perhatianku saat bertemu pertama kali sejak semester 3, dan dia semester 5 26 Agustus 2015. Bukan karena jilbab warna gelap besar, dan gamis longgar yang menjadi daya tarik visual teman-teman awas, keramahan yang menjadi ciri khas dirinya, salah satunya di suara serta gaya bicaranya, sampai-sampai orang mengira ibu dosen, atau ustadzah. Bila mendengar suaranya, pernah sesekali tidak sengaja memanggil “Bu?”.
Selain itu, keahliannya sebagai juru bahasa isyarat menjadi khas tersendiri dalam diri Ragil. Di acara-acara tertentu, Ragil menjadi penerjemah bahasa isyarat, di mana ada peserta acara yang notabene difabel tuli (rungu wicara). Meski menggunakan gamis, dan jilbab besar warna gelap, Ragil tetap percaya diri dalam menjalani aktifitasnya. Kalau dibilang ngoyoworo, bukan. Sebaliknya, kalau ditanya apakah saya melihat serinci itu? Padahal tunanetra sejak kecil. Jawabannya sederhana. Ketika tunanetra bertemu dengan seseorang, apa yang muncul pertama kali? Apakah tampilan visual atau suara? Yang jelas suara yang terdengar di telinga. Seperti yang diceritakan di atas, bermula dari mendengar suaranya, apakah volume keras, atau pelan? Atau karakteristik suara beserta gaya bicara yang jadi ciri yang menonjol, sehingga tunanetra mudah menghafal suara seseorang, termasuk suara Mbak Ragil JBI. Apakah dia bercadar seperti ukhti-ukhti santriwati di pondok pesantren tertentu? Dia tidak bercadar. Serius, dia tidak bercadar. Kok, tahu? Apakah hanya asal tebak, ada indra keenam? Jujur, karena keterbatasan dalam melihat, sehingga harus divisualkan oleh teman atau keluarga yang awas. Ibu salah satunya yang memberitahu bahwa teman saya ini tidak bercadar.
Pada saat ibu menjemput saya di PLD (gedung rektorat lama) kampus, saya masih berada di sisi selatan sedang asyik dengan laptop di atas karpet. Ibu bertanya pada beberapa teman-teman yang ada di meja officer atau meja staff. “Prima dimana, mbak, mas?” tanya ibu. Seseorang yang memakai gamis dan jilbab besar warna hitam memberi tahu pada ibu bahwa saya berada di sisi selatan sedang merapihkan barang-barang. Disitulah, ibu melihat sekilas si Ragil ini.
Di waktu dan tempat yang berbeda, saat menjemput di salah satu acara 7 tahun lalu, ibu bertemu dengan mbak cantik satu ini. Seperti biasa, dengan senyum ramah, dipadu dengan jilbab besar dan gamis khas warna hitam melengkapi keramahannya. Di waktu yang lain, jelang semester akhir perkuliahan, sengaja beristirahat di ruang PLD sisi Pojok Timur selatan. Baru meletakkan tas, saya mendengar orang sedang tertidur pulas tepat di depan. Karena suaraku agak keras, sehingga membangunkan yang sedang beristirahat. “Apa Prim?” terdengar seperti ibu dosen yang sedang bangun dari tidur. Hampir salfok gara-gara salah panggil, yang terucap refleks menyapa “bu/bunda”. “Maaf, ini mbak atau ibu bukan?” tanyaku ragu. “Ragil. Prim.” plas! Baru tahu kalau mbak JBI sedang beristirahat sejak pagi. Dia juga bilang kalau dia sering dipanggil ibu ketika berinteraksi dengan orang banyak. Satu lagi, di tahun 2016, ketika aplikasi Go-Jek di ponsel androidku sedang ada masalah, aku meminta bantuan ke Mbak Ragil untuk membenahi aplikasi, meski pembaca layar ponsel masih menyala. Di sela-sela membantuku, tanganku fokus memegang ponselku, eh, tak sengaja jari tangan kanan menyentuh pergelangan tangannya, dan pas pada bagian jilbab besarnya. “Udah bisa, Prim.” Katanya usai membenahi aplikasi Go-Jek di ponselku. Dalam hati, baru kali ini ketemu teman yang seperti ini. Apakah ini perwujudan dari mimpi tidurku saat masih sekolah dasar? Kalau iya, pantas bila busana syar’i yang Ragil kenakan, dilengkapi dengan akhlak mulia menjadi kepribadian tersendiri dalam dirinya.
Tahun 2019, mungkin ini awal dari karirnya sebagai JBI provesional, sekaligus editor Jurnal Inklusi. Saat itulah, tempat yang biasanya buat duduk mojok dipakai mbak cantik untuk mengedit artikel jurnal yang dikirim para peneliti. Di tahun yang sama pula, hampir loss contact, karena Mbak Ragil sebelumnya ganti nomor WhatsApp di tahun 2018. Alhamdulillah, bisa menemukan kontaknya, tujuanku menghubunginya untuk membantu mencari referensi skripsi di Gedung Mufti Ali (Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga). Sayang, tragedi menimpa Mbak Ragil. Senin, tanggal 14 Januari 2019, mbak JBI mengalami kecelakaan tunggal saat pulang ke Purbalingga. Alhamdulillah, hanya luka-luka pada kaki. Mendengar kejadian itu, saya dan ibu kaget. Akhirnya saya membalas japrinya yang intinya memohon maaf bila sudah merepotkan, sekaligus mendoakan semoga Allah SWT memberikan kesembuhan sehingga bisa beraktifitas lagi seperti sebelum-sebelumnya. Tahun 2020 menjadi akhir perjalanan diri ini menempuh studi sebelum pandemi. Hari Rabu Tanggal 12 Februari sebagai hari perpisahan untuk kampus yang inklusi sejak 2007 itu. Namun, rasa penasaran dengan wanita berbusana syar’i masih membara. Buktinya sejak pandemi melanda digunakan sebagai waktu untuk menulis acak. Termasuk menulis status FB yang membahas perempuan berbusana syar’i. Apakah hanya Mbak Ragil saja? Tidak, ada yang bercadar juga. Pertama teman SMA beda jurusan, kedua adik angkatan di prodi yang sama. Keduanya interaksi denganku kalah intens, karena sesuatu hal. Bukan karena cadarnya, mungkin keadaan serta waktu yang tidak pas untuk berkomunikasi dengan mereka berdua. Kalau penasaran, saya breakdown semuanya.
Sejak sekolah di salah satu SMA Muhammadiyah di Jalan Mondorakan Nomor 51, bermula dari seorang ibu TU yang meminjam motor teman yang bercadar. Wanita yang dipinjami kunci motornya sebut saja Nara (bukan nama sebenarnya). Dia siswi kelas IPA di SMA itu. Ketika mengembalikan kunci beserta motornya, tidak ketemu dengan pemiliknya, hanya aku yang saat itu menunggu ekskul. Akhirnya, saya terima kunci motor itu, bila ketemu pemiliknya, langsung dikembalikan. Alhamdulillah, bertemu dengan teman yang dimaksud, dia mencari ibu-ibu yang meminjam kunci dan motornya, aku bilang bahwa ibu TU tersebut sudah pulang terlebih dahulu, lalu menitipkan kunci padaku. Kunci motor itu aku serahkan ke Nara, ia menerima kunci itu sembari berucap terima kasih.
Tambahan, tahun 2011, teman cewek sesama tunanetra saat di kelas 10 dibantu oleh temanku yang bercadar. Saat membacakan, bukunya jatuh. Sontak temanku ini mau mengambil buku itu. Bukannya mendapatkan buku, tangannya tidak sengaja menyentuh wajah yang tertutupi cadar, ia kaget seraya meminta maaf pada Nara.
Tahun 2017, dengan adik angkatan. Lagi-lagi tidak intens, waktu itu masuk di mata kuliah yang sama,yaitu Pengantar Tafsir Al-Qur’an, dan di mata kuliah yang lain. Usai keluar kelas, adik angkatanku sebut saja Shaleha malah ngaja ngobrol sambil jalan, sesekali di hari yang berbeda ngasih Roti Donat Gula, lalu dimakan bareng-bareng walau duduknya tetap dikasih jarak. Baru ketahuan kalau adik angkatan pakai cadar, saat salah satu dosen menjumpai adik angkatan yang jalan barengan sama ibunya yang sama-sama memakai cadar. Kaget, ia. Tak mengapa kaget, wajar karena belum tahu.
Balik lagi di tahun 2020, dimana pikiranku semuanya bahas wanita berbusana syar’i. Otak bekerja maksimal untuk mengatasi gabut yang tak berkesudahan. Dengan bermodal HP Nokia E71-1(26), tak jadikan alat tempur untuk memerangi rasa gabut, serta di tengah musibah pandemi, juga pas laptop rusak usai lulus kuliah. Tulisan yang tak buat, yaitu karangan yang panjang belum kelar yang kisahnya mirip sinetron Indo yang penuh intrik. Bedanya pada tokoh utamanya. Tokoh utama laki-laki, tunanetra low vision yang berprovesi sebagai MC tersohor, dan tokoh perempuan seorang janda difabel daksa yang usianya sebaya dengan tokoh utama yang menggunakan busana syar’i tanpa cadar. Yang jadi menarik tokoh wanitanya. Sengaja aku mengimajinasikan tokoh utama perempuan dalam tulisan karangan panjang sebagai refleksi bahwa wanita berbusana syar’i itu punya value yang tertanam dalam sanubari. Sebut saja Siti Salimatunnisa, atau Selma si tokoh utama perempuan hasil dari refleksi pertemuan dengan perempuan berbusana syar’i. Digambarkan Selma ini adalah mentor MC dan vokal si tokoh utama laki-laki yang terkenal tegas, disiplin, tahan banting, keibuan, dan bersahaja. Posturnya dengan tinggi badan 182cm, berat badan 79kg, wajah setengah Arab dan Melayu, memakai kacamata minus, dan kaki kiri yang dibelit Backslab yang tertutup oleh gamis berwarna hijau toska sepadan dengan jilbab besarnya. Selma ini putri kedua dari dua bersaudara Pak Royhan si pengusaha hotel syari’ah yang terkenal seluruh dunia. FYI, sengaja postur Selma ini mengikuti abahnya, wajah mirip umminya. Selma sempat viral karena kasus yang dialami yang membuat kaki kirinya hampir putus. Ketika penyembuhan/recovery, dokter angkat tangan karena kesulitan membenahi, sehingga didiagnosa cacat permanen. Panjang, bukan? Itu tokoh perempuan faforit.
Lanjut, di tahun yang sama, aku bertanya-tanya tentang perempuan berbusana syar’i kepada ustadz dan ustadzah yang ahli di bidangnya. Inti dari jawaban mereka bahwa dalam hal fiqih terutama, terdapat perbedaan, salah satunya penggunaan cadar. Lega rasanya mendengar jawaban itu, namun pikiran ini masih memutar seperti piringan hitam yang berputar pada turntables.
Kembali ke Ragil. Tahun 2021, klimaks loss contact kedua kali dengan Ragil. Setahun lebih mencari kontaknya, hingga pada suatu acara lokakarya di salah satu hotel tanggal 28-29 Juni 2021 , kesempatan jadi pencari kontak. Usai acara di hari pertama, sengaja aku pulang terlambat hanya untuk minta kontak mbak JBI. Ada salah satu mas-mas JBI yang menyimpan nomor HP mbak cantik tersebut. Dengan antusias, aku segera mencatat di kontak HP android, tak simpan di kontak yang sudah ada, karena nama Mbak Ragil masih stay di kontak sejak 2015, tinggal dirubah nomornya. Usai pulang dari hotel, langsung gas japri ke nomor barunya yang baru saja tak simpan di kontak. Di tahun 2023, tanggal 25 Mei misalnya. Usai acara sosialisasi pengenalan interaksi dengan difabel di panitra pengadilan bbersama SAPDA, Mbak Ragil iseng bilang begini: “Boleh megang atas sikut? Apa nggak takut bukan muhrim?”. Spontan aku jawab: “Nggak apa-apa, kan ketutup sama lengan panjang kan, mbak?”. Ewalau tidak lucu, tapi itu jadi titik keberanianku ngobrol secara intens. Kedua, tanggal 20 Juli di tahun yang sama, bertemu di UGM di acaranya Difapedia Purbalingga. Di sela-sela sebelum acara mulai, kupaksa lagi diri ini bertanya ke Mbak Ragil, apakah saat ini masih ngedit jurnal? Jawabnya masih. Pertanyaan yang kedua, apakah saat ini mbak menerjemah bahasa isyarat di televisi mana? Jawabnya TVRI Jogja, itupun dijadwal Hari Ahad pagi sampai siang, kadang tidak mesti. Dalam hati bergumam: “Job terbangnya tinggi banget ternyata. Nggak kalah sama reporter televisi. Coba kalau Mbak Ragil ini jadi penyiar televisi apa penyiar radio, auto viral dua kali!”.
Terakhir, pas acara nikahan teman cewek tunanetra total yang disunting sama teman cowok tunanetra low vision tanggal 30 Desember 2023. Waktu acara resepsi, aku dan ibu sedang menikmati hidangan ringan usai foto-foto bersama. Baru asyik makan, pundak kiriku ditepuk seseorang sembari memanggil namaku: “prim!” sapanya singkat. Aku niat bertanya pada ibu yang melihat seseorang tersebut. Belum membuka mulut, ibu sudah mention seseorang yang menepuk pundak kiriku: “Kuwi Ragil, le.”. “Ha? Ngendi, mak?!” tanyaku kaget. “Kae, lagi njukuk wedang, terus ketemu ro Pak Ali kancamu netra neng sisih wetan.” Jawabnya. Hampir salting usai dimention ibu si mbak JBI ini, alhamdulillah masih bisa aku kendalikan.
Terakhir bertemu tatap muka tanggal 20 Juni 2024 saat acara difabel sekota Yogyakarta berkumpul di UPT Lansia di Giwangan. Hingga tahun 2025 ini, komunikasi online memang jarang, karena Mbak Ragil sudah sibuk dengan editing jurnal, dan menjadi JBI di mana-mana.
Sebenarnya, masih ada story bahas pertemuanku dengan teman-teman perempuan yang berbusana syar’i. Inti dari ceritaku ini bahwa perempuan berbusana syar’i punya peran masing-masing dalam kehidupan kita, terlebih kehidupan beragama. Walau, sebagian dari mereka tertutup cadar, humanis terpancar dari wajahnya. Begitu juga wajah-wajah yang tidak tertutup cadar, anggun dan teduh, terhiasi dengan akhlak mulia, serta ketakwaan kepada Sang Pencipta (Allah SWT). So, kenapa kita harus canggung ngobrol dengan wanita berbusana syar'i? Mereka juga sama dengan kita, sebagai manusia, dan sesama hamba Allah SWT. Tentunya dengan batasan-batasansesuai syari’at yang harus kita patuhi. Sebagai pesan, jangan bergaul langsung gas bablas, nanti kesetrum syahwat 2000kWh, nanti rempong dunia akhirat!
Semoga menjadi inspirasi, motivasi, serta refleksi kita semua sebagai umat yang beragama Islam. Wallahu A’lam.
Kotagede, Selasa Kliwon 27 Rajab 1446 Hijriah/28 Januari 2025 Masehi.
Artikel ini terbit pada rubrik Artikel Lepas di Majalah BrOSUR Lebaran AMM Kotagede Edisi 64 (1446 Hijriah)